Rabu, 29 Desember 2010

Silahkan ambil Piala AFF, tapi JANGAN AMBIL BUDAYA KAMI !

Kalimat itulah yang saya rasa pantas diucapkan kepada Malaysia.

Kalian boleh saja bangga terhadap kemenangan yang kalian peroleh pada tanggal 29-12-2010, tapi perlu kalian ketahui Indonesia kalah karena LASER bukan karena LOSER!

dan para suporter Indonesia tetap sportif, setidaknya walaupun mereka sering bertindak anarkis, mereka tidak pernah melakukan hal-hal curang seperti suporter Malaysia.

Untuk Malaysia, Silahkan ambil piala AFF, tapi JANGAN lagi kalian ambil atau kalian aku-akui Budaya Indonesia, seperti yang sudah-sudah kalian lakukan terdahulu!

Minggu, 19 Desember 2010

Sarjana Muda

Bulan masih menampakan rupa, pertanda belum mau digantikan oleh sang fajar. Suara adzan subuh baru juga menggema, jangkrik-jangkrikpun masih berbunyi dari sela-sela rerumputan.

Terbangun dari tidurnya dia bergegas untuk bersiap menyongsong matahari. Mengenakan kemeja putih, dan celana bahan hitam, yang sedari malam telah disiapkannya. Dengan mantap dia melangkah sembari menenteng seberkas surat lamaran kerja beserta fotokopi ijasah di tangan kanannya, di tangan kirinya terlihat sebuah jaket kulit berwarna coklat mirip punya pengendara motor harley. Sarjana yang baru lulus dari bangku kuliah terlihat sangat bersemangat untuk mencari kerja, guna masa depan yang cerah.

Sarjana muda di tengah kota, mencoba peruntungan kerja di sana. Ada yang bilang, ”ibu kota lebih kejam dari ibu tiri,” ada yang bilang, ”siapa suruh datang ke ibu kota.” Toh makin banyak yang datang ke ibu kota, serunya dalam hati. Berjalan di pinggiran, dan masuk ke sebuah perkantoran, dalam hati berharap ada perkerjaan yang sesuai dengan keinginannya. Belum ia sempat berkata, hanya baru meletakkan surat lamaran kerja di meja depan receptionist, si receptionist langsung berkata ”maaf mas, gak ada lowongan.” Sarjana muda tak patah semangat.

Hari masih pagi sekitar jam sembilan, namun matahari sudah mencuat menyinari bumi pertiwi. Sinarnya yang tak bersahabat pagi itu, membuat sarjana muda singgah di tempat penjaja makanan. Sekedar untuk mengganjal perut dan menambah sedikit tenaga. Dia membeli tiga buah gorengan tempe dan di temani dengan segelas kopi hitam, terasa cukup untuk menikmati sinar mentari yang tak bersahabat saat itu. Seruput demi seruput ia meminum kopi, sembari menunggu mentari bersahabat. ”bu, di daerah sini ada kantor yang lagi buka lowongan kerja nggak ya bu?,” tanya sarjana muda. ”wah saya kurang tahu dik, tapi kayanya nggak ada deh, eh.., ada deh, eh..,, gak tau deh,” jawab si ibu penjaja makanan tanpa kepastian.

Sarjana muda kembali melangkah, memasuki perkantoran untuk sebuah lowongan pekerjaan. Lagi-lagi jawaban yang sama ia dapatkan, bahkan dengan nada sedikit membentak. Tak patah semangat sarjana muda terus mencoba. Lagi, dia memasuki sebuah perkantoran. ”mbak, apa di sini ada lowongan kerja?,” tanyanya berharap. ”ada,” jawab wanita tersebut. Senyum cerah terlihat di bibirnya, ”akhirnya ada harapan juga,” dalam hati dia berkata. ”tapi cuma jadi tukang sapu halaman mas,” lanjut si wantia. ”tukang sapu? Nggak jadi deh mbak,” tolaknya. Sambil berjalan keluar kantor. Sarjana muda bergumam kesal, ”saya ini sarjana , masa saya di suruh jadi tukang sapu. Empat tahun saya bergelut dengan buku, kalau akhirnya cuma jadi tukang sapu buat apa?”

Sarjana muda merunduk. Matahari siang menyorot dengan tajam, seolah-olah mau mematahkan semangatnya. Dia berhenti sejenak di tengah taman kota, berdiri dengan tegak, seraya menantang matahari, bahwa ia tak akan kalah dari sinarnya yang begitu terik. Teringat seorang ibu yang menanti dirinya pulang dengan harapan anaknya mendapatkan pekerjaan, Ia kembali melangkah menapaki ibu kota untuk mencari sebuah pekerjaan yang didambakan. Satu-persatu perkantoran ia masuki, namun jawaban yang sama selalu dia dapat. Kesal dia, sudah pasti. Marah dia, bisa jadi. Baju kemeja yang tadi rapih, sekarah terlihat lusuh, dan basah oleh keringat. Wajah ceria mencari kerja, kini terganti oleh wajah yang kusam, karena diacak-acak polusi jalanan dan teriknya matahari.

Lelah dia berjalan, kemudian langkahnya terhenti di depan halaman. Ingin dia berteriak, meminta pembuktian para pemimpin negeri yang berbicara tentang kemakmuran, meminta pembuktian harga murah pada harga-harga yang kian lama kian tak terjangkau. Bukannya kemakmuran yang didapat, malah pengangguran yang banyak terlihat. Jakarta...oohh..Jakarta, kota harapan semua orang untuk beradu peruntungan, banyak biaya yang di keluarkan untuk ke Jakarta, tapi hasil yang didapat malah buntung. Banyak yang beruntung, mungkin. Tapi lebih banyak yang buntung, pasti. Berjalan dengan jaket lusuh di pundaknya, Sarjana muda melewati beberapa gembel yang mengais-ngais tong sampah, mencari sesuatu yang kiranya bisa dimakan untuk bertahan hidup. Ditinggalkannya gembel-gembel itu dengan beberapa pertanyaan di benaknya. Indonesia negara yang kaya raya, dengan hasil alam yang berlimpah. Siapa yang kaya? Siapa yang menikmati hasil alam yang berlimpah?,  tanyanya dalam hati. Janji tinggallah janji, janji yang diungkap para pejabat tak pernah terbukti.

Malam itu jam delapan, di pusat Jakarta. Tak pernah mati sepertinya kota Jakarta ini, kota yang sedari pagi sudah di penuhi oleh kendaraan bermotor, seketika berubah menjadi kota yang penuh hiburan pada malam harinya. Sarjana muda sendirian di tengah gemerlapnya Jakarta. Dengan langkah gontai penuh kekecewaan dia berjalan  mengikuti bayangan lampu jalanan. Melewati pusat pertokoan, melihat barang-barang yang bermacam jenisnya, segala macam tersedia di sini. Di depan pertokoan dia melihat sekelompok pengemis yang masih terlihat bocah, tidur beralas dan berselimut kardus. Didekatinya bocah itu, dia perhatikan wajah bocah-bocah malang yang tak kuasa menahan kejamnya ibu kota. Bocah-bocah yang seharusnya masih asik bermain di taman, penuh canda tawa, kini harus beradu kuat dengan kejamnya nasib tinggal di Jakarta. Sarjana muda miris hatinya, apa yang bisa ia perbuat? Toh para pejabat juga tak pernah berbuat apa-apa untuk bocah itu. Pejabat? Ya, pejabat, orang-orang yang tak pernah peduli dengan orang lain. Orang-orang yang selalu mementingkan isi perut sendiri. Pejabat, sama saja seperti penjahat, tawanya dalam hati.

Tak tau kemana kaki melangkah, melewati gang-gang gelap dan sempit. Banyak dia melihat hal-hal aneh. Ditengah megahnya kota Jakarta, masih saja dia melihat orang membawa gerobak usang. Diantara mewahnya gedung-gedung pencakar langit, masih saja dia melihat gubuk kumuh tidak berlistrik. Dikebingungan malam yang membuatnya menjadi pilu, dia pulang ke rumah dengan keadaan lusuh dan wajah yang murung. Pilu karena tidak mendapat kerja, dan murung karena tak tau apa yang harus diperbuat.

Detik demi detik berganti jadi menit, menitpun berganti jadi hari. Tak terasa sudah setahun lebih sarjana muda mencari pekerjaan dari kantor ke kantor, bahkan sudah ratusan, mungkin juga seribu surat lamaran yang sudah beredar di berbagai perkantoran. Berangkat pagi, maksud hati ”agar rejeki tidak di patok ayam,” pulang sore mencari rejeki yang entah ada dimana. Tapi, tak ada satu tempatpun yang mau memberikan peluang, dan berbagi waktu dengannya. Sarjana muda bukan hendak mengemis kerja. Namun, apa daya tak ada modal untuk membuka usaha, semua uang habis untuk biaya kuliah selama empat tahun. Harapan lulus kuliah langsung dapat kerja dan bisa membahagiakan Ibu, nampaknya harus tertahan, ”maafkan saya bu,” bisiknya.

Sarjana muda resah tak dapat kerja, dalam keputus asaannya dia berkata, ”buat apa jadi sarjana, kalau tidak berguna. Buat apa jadi pemimpin kalau tidak bisa mensejahterahkan rakyatnya.”